Buya Hamka menyebut, “Cermin yang paling jujur adalah mata seorang ibu.” Rasanya beruntung sangat ekali menjadi perempuan dan menjadi seorang ibu. Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak mampu ku membalasnya. Kamu tahu, seorang ayah mungkin akan pergi namun setiap Ibu akan terus mengabdikan dirinya sebagai ibu. Sungguh wanita yang cerdas adalah yang mampu menempatkan diri dengan baik sebagai anak, isteri, dan ibu serta mampu membaca potensi kebaikan di mana pun dia berada.”
– Aa Gym
Ibu adalah madrasah pertama anak. Bagi saya ibu adalah segala-galanya, jalan rezeki dibuka dengan bakti kita pada orang tua, hal yang membuat hati seorang ibu bahagia bukanlah harta, melainkan akhlak seorang anak yang mulia. Ibu adalah sekolah. Ibu adalah lembaga pendidikan pertama. Ibulah yang membekali anak sikap, watak, keperibadian, akhlak, iman, dan pemahaman bahawa dunia ini berkerikil, dan kerikilnya dapat sering membuat si anak terjatuh. Ibu yang baik akan mempersiapkan anaknya menghadapi kerikil-kerikil itu agar ketajamannya tidak membuat cedera hidup di dunia, apalagi cedera di akhirat kelak. Menjadi ibu adalah pertaruhan terbesar di dunia. Itu adalah kekuatan hidup yang mulia. Seorang ibu adalah teman pertamamu, sahabatmu, teman selamanya.
Cinta seorang ibu adalah segalanya. Itulah yang membawa seorang anak ke dunia ini. Itulah yang membentuk seluruh keberadaan mereka. Ketika seorang ibu melihat anaknya dalam bahaya, dia benar-benar mampu melakukan apa saja.Anda seorang ibu, anda tidak pernah benar-benar sendirian dalam pikiran anda. “Seorang ibu selalu harus berfikir dua kali, sekali untuk dirinya sendiri dan sekali untuk anaknya.” – Sophia Loren. “Cinta ibu saya selalu menjadi kekuatan yang menopang keluarga kami, dan salah satu kegembiraan terbesar saya adalah melihat integritasnya, belas kasihnya, kecerdasannya tercermin pada putri-putri saya.” – Michelle Obama. “Saya percaya pilihan untuk menjadi seorang ibu adalah pilihan untuk menjadi salah satu guru spiritual terbesar yang pernah ada.” – Oprah”Guru pertama seorang anak adalah ibunya.”
– Peng Liyuan
Daripada Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’ahu, beliau bertanya kepada Nabi:
يا رسولَ اللهِ ! مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ : قال : أُمَّكَ ، قُلْتُ : مَنْ أَبَرُّ ؟ قال : أباك ، ثُمَّ الأَقْرَبَ فَالأَقْرَبَ
“Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan).
Syaikh Fadhlullah Al Jilani, ulama India, mengomentari hadits ini: “ibu lebih diutamakan daripada ayah secara ijma dalam perbuatan baik, karena dalam hadits ini bagi ibu ada 3x kali bagian dari yang didapatkan ayah. I disebabkan kesulitan yang dirasakan ibu ketika hamil, bahkan terkadang ia bisa meninggal ketika itu. Dan penderitaannya tidak berkurang ketika ia melahirkan. Kemudian cubaan yang dia alami mulai dari masa menyusui hingga anaknya besar dan bisa mengurus diri sendiri. Ini hanya dirasakan oleh ibu” Dinukil dari Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain.
Al Harits Al Muhasibi juga menukil ijma’ bahawa kedudukan ibu lebih utama daripada ayah. Walaupun ada sebagian ulama yang menukil adanya khilaf dalam hal ini. Yaitu sebahagian ulama mengatakan kedududukan ayah dan ibu sama, dan ini disandarkan kepada pendapat Imam Malik. Namun insya Allah yang tepat adalah klaim ijma’ karena tegasnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut [3. Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, hal.
Daripada Miqdam bin Ma’di Yakrib radhiallahu’ahu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
نَّ اللَّهَ يوصيكم بأمَّهاتِكُم ثلاثًا، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بآبائِكُم، إنَّ اللَّهَ يوصيكم بالأقرَبِ فالأقرَبِ
“Sesungguhnya Allah berwasiat 3x kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat” (HR. Ibnu Majah, shahih dengan syawahid-nya)
Daripada Atha bin Yassar, ia berkata:
عن ابنِ عبَّاسٍ أنَّهُ أتاهُ رجلٌ ، فقالَ : إنِّي خَطبتُ امرأةً فأبَت أن تنكِحَني ، وخطبَها غَيري فأحبَّت أن تنكِحَهُ ، فَغِرْتُ علَيها فقتَلتُها ، فَهَل لي مِن تَوبةٍ ؟ قالَ : أُمُّكَ حَيَّةٌ ؟ قالَ : لا ، قالَ : تُب إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، وتقَرَّب إليهِ ما استَطعتَ ، فذَهَبتُ فسألتُ ابنَ عبَّاسٍ : لمَ سألتَهُ عن حياةِ أُمِّهِ ؟ فقالَ : إنِّي لا أعلَمُ عملًا أقرَبَ إلى اللَّهِ عزَّ وجلَّ مِن برِّ الوالِدةِ
“Daripada Ibnu ‘Abbas, ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata kepada Ibnu Abbas: saya pernah ingin melamar seorang wanita, namun ia enggan menikah dengan saya. Lalu ada orang lain yang melamarnya, lalu si wanita tersebut mahu menikah dengannya. Aku pun cemburu dan membunuh sang wanita tersebut. Apakah saya masih bisa bertaubat? Ibnu Abbas menjawab: apakah ibumu masih hidup? Lelaki tadi menjawab: Tidak, sudah meninggal. Lalu Ibnu Abbas mengatakan: kalau begitu bertaubatlah kepada Allah dan dekatkanlah diri kepadaNya sedekat-dekatnya. Lalu lelaki itu pergi. Aku (Atha’) bertanya kepada Ibnu Abbas: kenapa anda bertanya kepadanya tentang ibunya masih hidup atau tidak? Ibnu Abbas menjawab: aku tidak tahu amalan yang paling bisa mendekatkan diri kepada Allah selain birrul walidain” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya shahih).
Dan telah dikenal bahawa metode Ibnu Abbas jika dimintai fatwa mengenai kafarah dosa, beliau akan menyarankan dengan amalan yang pahalanya benar-benar seimbang dosa tersebut atau lebih besar pahalanya daripada dosa yang ditanyakan, hingga dosa tersebut hilang sama sekali. Selama tidak ada nash khusus mengenai kafarah dosa yang ditanyakan. Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain, hal. 18]. Dan ini menunjukkan bahwa pahala berbakti kepada orang tua terutama kepada ibu itu sangat besar hingga seimbang dan menjadi kafarah dosa membunuh tanpa hak atau bahkan melebihinya sehingga dosa tersebut hilang sama sekali.
Mengenai kisah Uwais Al Qorni yang sampai-sampai sahabat Nabi sekelas Umar bin Khathab radhiallahu’anhu dan yang lainnya dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menemui Uwais. Hal ini disebabkan begitu hebatnya birrul walidain Uwais terhadap ibunya. Nabi bersabda:
إن خيرَ التابعين رجلٌ يقالُ له أويسٌ . وله والدةٌ . وكان به بياضٌ . فمروه فليستغفرْ لكم
“Sesungguhnya tabi’in yang terbaik adalah seorang lelaki bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu, dan ia memiliki tanda putih di tubuhnya. Maka temuilah ia dan mintalah ampunan kepada Allah melalui dia untuk kalian” (HR. Muslim).
Hadis panjang yang dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahihnya mengenai kisah Juraij. Yang intinya ketika Juraij dipanggil oleh ibunya sedangkan ia sedang solat, Juraij lebih mementingkan solatnya dan tidak memenuhi panggilan ibunya. Akhirnya ibunya mendoakan keburukan padanya dan terkabul.
Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: “Para ulama mengatakan: ‘ini dalil bahawa yang benar adalah memenuhi panggilan ibu, kerana Juraij sedang melakukan solat sunnah. Terus melanjutkan shalat hukumnya sunnah, tidak wajib. Sedangkan menjawab panggilan ibu dan berbuat baik padanya itu wajib, dan mendurhakainya itu haram’”.
Kesimpulannya, daripada dalil-dalil ini, para ulama mengatakan:
الأم أحق الناس بحسن الصحبة
“Ibu adalah orang yang paling layak untuk mendapatkan perlakuan yang paling baik.”
Jika ayah dan ibu memberikan pandangan kepada anak dan pandangan mereka saling bertentangan, maka pandangan siapa yang diambil? Dijawab Syaikh Musthofa Al ‘Adawi: “Yang diambil pandangannya adalah yang lebih sesuai dengan kebenaran dan lebih dekat kepada ketaqwaan dan ihsan. Adapun jika tidak bisa dibedakan mana pandangan yang lebih shahih, maka jika perkaranya terkait dengan sikap atau perlakuan baik, maka ibu didahulukan. Adapun jika perkaranya terkait dengan hal umum yang memang bidangnya para lelaki maka opini ayah didahulukan. Wallahu a’lam” Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain.
Jika ayah dan ibu saling berselisih, apa yang semestinya dilakukan anak?
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan: “jika anak mendapati ayah dan ibu saling berselisih, maka wajib baginya untuk mendamaikan keduanya dengan cara yang baik, kerana perdamaian itu lebih baik. Dan hendaknya tidak membela salah satunya dengan tangan atau dengan lisan. Yang benar adalah mendamaikannya dengan baik. Allah Ta’ala berfirman:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا “dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isra: 23)” [5. Fiqhul Ta’amul ma’al Walidain.Demikian, semoga pembahasan hadis tentang ibu yang sedikit ini bermanfaat. Semoga Allah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua agar menjadi insan yang berbakti dengan sungguh-sungguh kepada orang tua. Wabillahi at taufiiq was sadaad.