Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik, kisah Imam Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ketiga dari kota Basrah, Iraq.
Beliau bercerita:
Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijrah.
Waktu itu, aku sama sekali tidak memiliki apa-apapun, sementara aku harus menafkahkan seorang isteri dan seorang anak.
Himpitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.
Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.
Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan ku ceritakan keadaanku. Lantas, dia malah memberiku dua lembar roti isi manisan dan berkata,
“Berikan makanan ini kepada keluargamu.”
Di tengah perjalanan pulang, aku berselisihan dengan seorang wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku.
Dengan nada yang sayu dia memohon,
“Wahai Tuan, anak yatim ini belum makan, tidak terdaya kerana terlalu lama menahan rasa lapar yang menghimpit diri. Tolong berikan dia sesuatu yang boleh dia makan. Semoga Allah Ta’ala merahmati Tuan.”
Sementara itu, si anak menatapku tekun dengan tatapan yang tidak akan ku lupakan sepanjang hayat.
Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrawi, seolah-olah syurga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.
Tanpa ragu sedetik pun, ku serahkan semua yang ada di tanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.
Demi Allah, padahal waktu itu tidak sesen pun dinar atau dirham yang aku miliki.
Sementara di rumah, keluargaku sangat memerlukan makanan itu.
Spontan, si ibu tidak dapat membendung air matanya (menangis) dan si kecil pun tersenyum indah bak purnama.
Ku tinggalkan mereka berdua dan ku lanjutkan langkah kakiku, sementara beban hidup terus bergelutan di fikiranku.
Sejenak, ku sandarkan tubuh ini pada sebuah dinding, sambil terus memikirkan perancanganku untuk menjual rumah.
Dalam keadaanku seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.
“Hei, Abu Muhammad…!
Kenapa kau duduk-duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?” tanyanya.
“Masyaallah….!” jawabku terkejut.
“Dari mana datangnya?”
“Tadi ada seorang lelaki datang dari Khurasan.
Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapa pun yang mempunyai hubungan kerabat dengannya.
Dia membawa berduyun-duyun kenderaan barang penuh berisi harta,” ujarnya.
“Jadi?” tanyaku kehairanan.
“Dia itu dahulu saudagar kaya di Basrah ini. Kawan ayahmu, dulu ayahmu pernah memberikan kepadanya harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bankrap. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu. Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan.
Di sana, keadaan ekonominya beransur-ansur baik. Bisnesnya meningkat dan berjaya. Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi, berganti dengan limpahan kekayaan.
Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.
Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan perniagaannya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berniaga dan ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”
Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya,
“Kalimah puji dan syukur kepada Allah Ta’ala meluncur dari lisanku.
Sebagai bentuk syukur, segera ku cari wanita fakir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung hidup mereka seumur hidup.
Aku pun terjun di dunia perniagaan seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, memberi bantuan dan berbagai bentuk amal soleh. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.
Tanpa sedar, aku merasa takjub dengan amal solehku.
Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan.
Ada semacam harapan dalam diri, bahawa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah Ta’ala dalam senarai orang yang soleh.
Suatu malam, aku tidur dan bermimpi. Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat.
Aku juga lihat, manusia bagaikan berombak lautan.
Aku juga lihat, badan mereka membesar.
Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memikul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.
Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memikul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah, isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.
Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.
Seluruh amal burukku diletakkan di salah satu sisi timbangan, sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain.
Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku..!
Tapi ternyata, perhitungan belum selesai.
Mereka mulai meletakkan satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah ku lakukan.
Namun alangkah ruginya aku. Ternyata di balik semua amal itu terdapat ‘nafsu tersembunyi’.
Nafsu tersembunyi itu adalah riak’, ingin dipuji, merasa bangga dengan amal solehku.
Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satu pun amalku yang terlepas daripada nafsu-nafsu itu.
Aku putus asa.
Aku yakin aku akan binasa.
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari seksa neraka.
Tiba-tiba, aku terdengar suara, “Masihkah orang ini mempunyai amal baik?”
“Masih…” jawab suara lain.
“Masih berbaki yang ini.”
Aku pun menjadi tidak tentu, amal baik apakah gerangan yang masih berbaki?
Aku berusaha melihatnya.
Ternyata, itu hanyalah dua lembar roti isi manisan yang pernah ku sedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.
Habis sudah harapanku…
Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sebinasanya.
Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku, sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah dan itu tidak berguna sedikit pun.
Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.
Segera dua lembar roti itu diletakkan di timbanganku.
Tak ku sangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sehingga lebih berat sedikit dibandingkan timbangan keburukanku.
Tidak sampai disitu, tenyata masih ada lagi amal baikku.
Iaitu berupa air mata wanita fakir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah.
Air mata tak terbendung yang mengalir kala tersentuh akan kebaikanku.
Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku.
Sungguh tak terbayang, saat air mata itu diletakkan, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat.
Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata, “Orang ini selamat daripada seksa neraka!
Masih adakah terselit dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat oleh orang lain pada ibadah dan amal-amal kita?
Allahuakbar!!!
Aku bermohon ke hadrat Allah Tuhan Pemilik Hari Pembalasan agar diriku, keturunanku juga sahabatku semua dijauhi daripada sifat dan juga amal daripada nafsu yang tersembunyi.
Sumber tazkirah telah kupetik dari kitab Kisah Tauladan
“Ar-Rafi’i dalam Qalam (2/153-160)”